Mengapa Anti-Amerikanisme?

Oleh : Ahmad Sahal

Tapi jawaban Bush sama sekali meleset dalam menjelaskan penyebab anti-Amerika yang meluas di negeri Arab. Pernyataan Bush tersebut justru semakin menegaskan satu hal yang sering dikemukakan orang tentang Amerika, bahwa Amerika terlalu melihat ke dalam (inward looking), asik dengan diri mereka sendiri seakan-akan mereka berada dalam dunia yang terisolasi, media massanya sangat berwatak parokial ketimbang global, dan tidak (mau) tahu atau tidak peka terhadap dunia luar, terutama dunia Islam.
Setahun sesudah tragedi 11 september, sentimen anti Amerika Serikat (AS) di negeri-negeri Arab dan Muslim bukannya mengecil melainkan justru membesar. Setidaknya bila kita merujuk pada laporan The Jakarta Post beberapa hari lalu. Dalam laporan itu disebutkan, meskipun banyak kalangan dari masyarakat muslim menyatakan simpati terhadap korban tragedi WTC, kebencian terhadap AS juga meningkat. Banyak warga Mesir misalnya, mengekspresikan kemarahan terhadap AS karena kebijakannya menyangkut Israel dan Iraq. Di Syiria, koran resmi Tishrin mengklaim bahwa bangsa Arab sudah membayar “harga tertinggi” untuk 11 September, sementara Israel justru membonceng kampanye perang melawan terorisme dengan cara menyamakan perjuangan Palestina dengan terorisme. Bahkan Kuwait, yang di tahun 1991 menobatkan AS sebagai pembebas dari invasi Irak, kini mulai diwarnai dengan gejala menjadikan Osama bin Ladin sebagai hero.
Dari mana datangnya anti-Amerikanisme ini? Mengapa orang benci Amerika? Setahun yang lalu, beberapa saat setelah teror 9-11 terjadi, banyak warga AS melontarkan pertanyaan tersebut. Presiden George W. Bush, dalam pernyataannya di depan Kongres pada tanggal 20 september 2001 menjawab, “Americans are asking , why do they hate us? They hate our freedom—our freedom of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other” Jadi menurut Bush, dasar dari kebencian terhadap AS adalah kebencian terhadap kebebasan. Ada juga yang memberi jawaban, kaum teroris benci AS karena iri dengan kemakmuran dan keperkasaan Amerika.
Jawaban semacam ini untuk sebagian bisa menjelaskan kenapa patriotisme AS begitu menyala dan diekspresikan secara berlebihan setahun terakhir, mengiringi perang mereka terhadap jaringan terorisme internasional. Memang bagi AS, ide kebebasan (the idea of freedom) merupakan jantung identitas mereka, sehingga kalau itu diserang, apalagi dengan serangan dahsyat yang menewaskan lebih dari 3000 orang tak berdosa, maka semangat patriotismelah yang akan meradang.
Tapi jawaban Bush sama sekali meleset dalam menjelaskan penyebab anti-Amerika yang meluas di negeri Arab. Pernyataan Bush tersebut justru semakin menegaskan satu hal yang sering dikemukakan orang tentang Amerika, bahwa Amerika terlalu melihat ke dalam (inward looking), asik dengan diri mereka sendiri seakan-akan mereka berada dalam dunia yang terisolasi, media massanya sangat berwatak parokial ketimbang global, dan tidak (mau) tahu atau tidak peka terhadap dunia luar, terutama dunia Islam. Ketika mereka diserang dari luar, mitos isolasi mereka memang buyar, akan tetapi bacaan mereka terhadap situasi yang terjadi jauh dari memadai. Contohnya ya jawaban George W. Bush itu.
Anti-Amerikanisme di dunia muslim bukanlah terutama dipicu oleh kebencian terhadap kebebasan Amerika, juga bukan karena iri melihat kemakmuran Amerika, melainkan karena kekecewaan yang mendalam terhadap kebijakan AS di Timur Tengah yang melulu berdasar kepentingan nasional jangka pendeknya sendiri. 
AS datang ke Timur Tengah dengan antusiasme yang tinggi terhadap minyak mentah dan gas alam di kawasan itu yang diperkirakan merupakan 2/3 dari cadangan dunia, akan tetapi dengan perhatian yang minim terhadap berlangsungnya demokratisasi di situ. AS dengan ringan mendukung rezim-rezim sekular yang otoritarian, korup dan represif asal bisa melanggengkan stabilitas dan menyantuni kepentingan mereka. Rezim Islam yang tidak demokratis dan menindas hak asasi tapi menyantuni kepentingan Amerika, seperti Arab Saudi, juga dianggap sebagai mitra, sementara rezim yang melawan dianggap sebagia musuh. Dengan kata lain, yang jadi pertimbangan di sini adalah kepentingan AS itu sendiri, bukan seberapa jauh demokratisasi dan hak asasi terjamin.
Hal lain yang membikin nama AS jatuh di mata masyarakat muslim adalah dalam hal sikapnya yang sangat lembek dan pasif terhadap persoalan Palestina. Terorisme negara (state terrorism) yang dipraktekkan Israel terhadap Palestina sudah begitu gamblangnya tetapi AS seakan-akan memaklumi saja penjelasan Israel bahwa itu adalah usaha mereka membela diri. Sementara itu, AS justru mengamini pandangan Israel yang mengkategorikan perlawanan Palestina sebagai terorisme. 
Soal Palestina inilah saya kira salah satu bahan bakar utama yang menyulut sentimen anti Amerika. Sentimen ini menjadi menebal terutama setelah kekalahan Arab dalam Perang Enam Hari melawan Israel tahun 1967. Bukan saja karena kekalahan ini menjatuhkan martabat bangsa Arab ke titik nadir, melainkan juga karena dalam perang itu AS jelas-jelas menyokong Israel.
Sesungguhnya, sentimen anti-Amerika ini sulit dibayangkan muncul pada tahun 50-an atau awal 60-an. Karena pada masa itu, AS justru menjadi model kemajuan bagi bangsa Arab.Wartawan terkemuka Mesir Mohammad Heikal menggambarkan mood masa itu dengan baik sekali: “Gambar keseluruhan dari Amerika Serikat…adalah dunia yang glamour…Imperium Inggris dan perancis sudah pudar dan dibenci. Uni Soviet begitu jauh jaraknya, dan ideologi komunisme adalah anathema bagi muslim. Tapi Amerika, setelah Perang Dunia II, tampil sebagai lebih kaya, lebih kuat dan lebih menarik ketimbang sebelumnya.” Akan tetapi, setelah Perang Enam Hari, bangsa Arab merasa dikecewakan dan dikhianati Amerika. 
Evaluasi terhadap kebijakan AS di Timur Tengah, terutama soal Palestina itulah saya kira yang mestinya dibenahi oleh AS manakala mereka hendak memerangi terorisme. AS harus berani berinstrospeksi, meminjam judul buku terbaru Bernard Lewis “what went wrong?” dalam hal sikap mereka terhadap masyarakat muslim, sebagaimana Bernard Lewis juga mengusulkan kaum muslim mawas diri juga dan bertanya “what went wrong?” kok sampai dari perut mereka bisa lahir terorisme 9-11.
Kaum muslim tidak perlu menyangkal bahwa memang ada yang salah dan patologis dalam tubuh umat, yakni gejala pengekspresian Islam dengan cara-cara teror dan bahasa kekerasan seperti dilakukan oleh jaringan al-Qaidah, kelompok Abu Sayyaf dan sejenisnya. Kelompok teroris inilah yang telah membajak Islam untuk tujuan mereka sendiri dengan memberikan impresi pada dunia bahwa merekalah satu-satunya pembawa wajah Islam. Untuk menyembuhkan penyakit semacam ini, sikap apologetik dan menyalah-nyalahkan pihak lain (misalnya dengan merangkai fantasi tentang adanya konspirasi Barat melawan Islam) justru tidak akan menolong dan kontraproduktif. Sikap yang tepat adalah mengakui adanya patologi tersebut dan bertekad menyembuhkannya dengan menampilkan citra Islam yang ramah, pluralis dan inklusif.
Tapi langkah koreksi diri dari kaum muslim ini harus juga diikuti dengan koreksi diri dari Amerika mengenai sikapnya dalam soal Timur Tengah. Amerika mestinya ikut menyokong rezim-rezim yang demokratis dan pluralistik dan memperkokoh civil society di Timur Tengah. Itu yang pertama. Yang kedua, Amerika haruslah lebih banyak mendengarkan usulan masyarakat Arab dalam soal Israel dan bersikap empatik terhadap penderitaan Palestina.
Dua hal ini adalah tindakan preventif yang ampuh dalam jangka panjang untuk mereduksi terorisme. Karena dengan adanya demokrasi dan kebebasan berekspresi yang kuat, gerakan Islamisme yang marak sekarang ini akan mengalami moderasi karena dialektika mereka dengan demokrasi menjauhkannya dari jalan teror. Sebab, kalau mereka bisa meraih dukungan dengan demokratis, dan itu artinya mereka harus bertemu dengan ragam orang banyak, bahasa teror justru akan membikin mereka teralienasi.
Alienasi semacam itulah yang sekarang terjadi pada jaringan al-Qaidah. Pada titik ini, analisa Gilles Kepel menarik untuk ditengok. Dalam buku terbarunya, Jihad: The Trail of Political Islam, sosiolog Perancis ini membalik anggapan umum bahwa terorisme terhadap AS tahun lalu sebagai fenomena pasang naik dari fundamentalisme Islam. Menurut Kepel, serangan tersebut justru tanda kebangkrutan gerakan Islam radikal, “simbol keputusasaan akibat isolasi, fragmentasi, dan merosotnya gerakan Islam, bukan tanda kekuatan dan kehebatannya.”
Ironisnya, AS tampaknya tidak bertanya “what went wrong?” untuk sekadar melakukan koreksi diri. Buktinya, pendekatannya dalam melawan terorisme masih unilateral dan bertahan pada prinsip “siapa yang tidak bersama kami berarti musuh kami”. AS juga ngotot menggolongkan Irak dan Iran sebagai axis of evil dan bahkan kini merencanakan serangan terhadap Irak, padahal tak satupun pelaku teror WTC berasal dari kedua negara itu. Saddam Husein memang tiran yang represif. Akan tetapi menyerang Irak sekarang ini hanya akan memperkukuh posisi dirinya. Dan siapapun tahu, Iran, melalui Presiden Khatami yang moderat, sedang merambah jalur transisi demokrasi. Sejarah tidak sedang berada di pihak Mullah di Iran sekarang ini. Tapi apa lacur, AS membutakan diri dari hal itu.
Sementara itu AS masih menjalin hubungan mesra dengan Saudi Arabia meskipun fakta menunjukkan, dari 19 pelaku teror WTC, 15 orang diidentifikasi sebagai berkewarganegaraan Saudi. AS tidak mau hubungannya dengan Saudi rusak karena dari situlah kepentingannya terpenuhi.
Ketakutan terhadap terorisme yang eksesif juga membuat AS menomorsatukan isu keamanan di atas segalanya, meskipun dengan resiko mengorbankan civil liberties dan isu hak asasi. Atas nama memerangi terorisme, ribuan orang yang dicurigai bisa ditangkap begitu saja, diinterogasi secara rahasia, tanpa bantuan hukum. Atas nama melawan terorisme, ratusan tawanan perang Taliban yang dibawa ke Guantanamo tidak mendapatkan perlindungan hak asasi yang memadai. Dan atas nama keamanan, AS rela menyokong militer di Dunia Ketiga, termasuk militer Indonesia, yang masih punya masalah dengan HAM, asal bisa menangkap siapapun yang dituduh teroris.
Kampanye melawan terorisme ini pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh penguasa otoriter untuk menindas lawan politik atau oposisi, atas nama perang melawan terorisme. Demikianlah maka pemerintah Cina, misalnya, merasa punya nyali untuk memprosekusi perlawanan kaum muslim Uighur di provinsi Xinjiang. Pemerintah Singapura merasa punya hak untuk menggunakan ISA untuk menangkap siapapun yang dianggap teroris. Dan atas nama ketakutan terhadap Islamisme, maka Mahathir di Malaysia, juga presiden Nursultan Nazarbaev dari Kazakhstan dan Askar Akaev dari Kirgizstan bisa menindas kaum oposisi. Dan last but not least, atas nama anti terorisme, Ariel Sharon pun merasa layak memberangus Palestina. 
Kalau pilihan semacam ini diterus-teruskan oleh Amerika, bukannya mata rantai terorisme yang dipotong habis, melainkan benih-benihnya yang akan tumbuh subur. Jangan heran kalau anti-Amerikanisme bukannya hilang malah diminati.